Distres dan Kesehatan Mental - Penjaja Ilmu

Distres dan Kesehatan Mental

Distres dan Kesehatan Mental

Di era globalisasi saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan begitu pesat,  perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan terkadang tidak selamanya selaras dengan sikap manusia disuatu tempat, banyak diantara masyarakat dunia yang masih belum siap dengan kehadiran teknologi tersebut, yang akhirnya hal ini berdampak pada gaya hidup, manusia akan menjadi semakin konsumtif dan kurang produktif. Memang benar tidak selamanya pengaruh modernisasi dan  globalisasi berdampak negatif, banyak diantaranya yang menguntungkan, misalnya perkembangan teknologi telekomunikasi yang akan memudahkan manusia untuk saling berhubungan satu sama lainnya, dan penggunaan teknologi untuk mengantisipasi terjadi suatu bencana alam. Namun, teknologi ibarat pisau bermata dua, selain menguntungkan, dikarenakan tidak siapnya manusia untuk menerima,  akan mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan teknologi.
Saat ini manusia dituntut untuk survive dengan lingkungan hidupnya, tuntutan hidup mengharuskan manusia untuk dapat mandiri, dan tentunya tanpa mengabaikan rambu-rambu nilai dan norma yang berlaku, jika tidak seribu penyakit jiwa yang akan mengancamnya. Pada artikel ini saya akan menguraikan pembahasan yang berakaitan erat antara stress yang tidak menguntungkan, atau lebih dikenal dengan distres dan hubunganannya dengan kesehatan mental.

Stres dan dampaknya
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi  (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.
Stressor (penyebab stres)  yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956).
Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu. hasil sebuah penelitian yang di lakukan pada orang afrika yang berada di amerika banyak yang mengalami stres atau gangguan mental lainnya berasal dari kalangan masayarakat kelas menengah yang dalam lingkungan sosialnya menerima diskriminasi dari masyarakat pribumi. Hal ini menandakan bahwa lingkungan sosial berkontibusi dalam membentuk manusia sehat. Tingginya sebuah konflik atau pertikaian di dalam sebuah masyarakat akan memunculkan resiko yang besar pada penyakit-penyakit mental yang berawal dari stres. Untuk memahami efek stressor dan mempelajari mengapa orang bereaksi secara berbeda terhadap stressor, peneliti modern melintasi batas-batas professional untuk mengumpulkan sumber daya  dan pengetahuan mereka. Banyak ahli bekerja di lintas bidang spesialisasi dengan istilah psikoneuoroimunologi. Istilah “psiko” mengacu pada proses psikologis seperti emosi dan persepsi, “neuro” terkait system endokrin; dan “imunologi” mengacu pada system kekebalan yang membuat tubuh mampu melawan penyakit dan infeksi.
Berdasarkan penelitian lainnya mengenai bagaimana dampak stress terhadap tubuh, memaparkan di saat kita sedang stress maka hipotalamus di otak akan mengirimkan pesan ke endokrin ke dalam dua jalur besar. Jalur pertama mengaktifkan bagian simpatetik pada system syaraf otonom untuk melakukan respons “lawan dan lari”, hasilny adalah pelepasan epinephrine dan noreepinephrine dari bagian (medulla) kelejar adnrenal. Hipotalamus juga memicu aktivitas sepanjang aksis HPA (hypothalamus-pitutuary-adrenal cortex): hipotalamus melepaskan pesan-pesan kimiawi yang berkomunikasi dengan kelenjar pitutuari, yang selanjutnya akan mengirim pesan-pesan ke bagian (korteks) dari kelenjar adrenal. Adrenal korteks mengeluarkan kortisol dan hormone-hormon lain yang meningkatkan gula darah dan melindungi jaringan tubuh dari peradangan jika luka.
Salah satu hasil pengaktifan aksis HPA adalah peningkatan energi, yang penting bagi respon jangka pendek terhadap stress. Namun jika kortisol dan hormon stres tetap tinggi dalam jangka waktu yang lama, maka akan membahayakan kesehatan karena berperan dalam memunculkan tekanan darah tinggi dan berbagai penyakit fisik lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan stres  bahwa di dalam perusahaan yang menerapkan jam kerja yang padat, tetapi membayar gaji yang rendah kepada karyawannya, maka hal itu dapat menyebabkan munculnya resiko penyakit vadivoscular yang berimplikasi pada kematian. Maka, sudah semestinya sebuah perusahaan memperhatikan segi keamanan dan kenyamanan pada para karyawan agar kinerjanya akan semakin baik dan optimal.

Coping Stres 

Berkenaan dengan coping (mengatasi) stres, sebuah penelitian menemukan  tidak ada perbedaan strategi coping stress pada peran gender (baik berperan sebagai perempuan maupun pria) mereka keduanya sama-sama menggunakan coping stress, misalnya berpikir positif dan lain sebagainya. Beberapa stressor kronis meningkatkan resiko penyakit: bunyi-bunyi konstan yang tidak dapat dikendalikan; duka cita dan kehilangan; pengangguran dan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan; dan kemiskinan, status rendah dan ketidak berdayaan. Namun, ada banyak orang yang mengalami stressor ini tidak menjadi sakit. Psikolog kesehatan mempelajari faktor-faktor psikologis, sosial dan biologis yang meramalkan siapa yang menjadi sakit dan siapa yang tetap sehat.
Coping melibatkan usaha aktif untuk mengatasi tuntutan yang membuat stress. Salah satu cara untuk mengatasi stress adalah mengurangi efek fisik, misalnya, melalui relaksasi bertahap, meditasi, pemijatan, dan olahraga. Cara lain adalah dengan memfokuskan untuk menyelesaikan masalah (problem-focused coping) dan tidak melampiaskan diri hanya melampiaskan emosi-emosi yang disebabkan oleh masalah (emotion-focused coping) dan cara ketiga adalah dengan memikirkan kembali, melalui penilaian kembali (reappraisal). Belajar dan menemukan arti dari pengalaman, dan perbandingan sosial dengan orang lain yang lebih buruk keadaanya atau yang dapat menyediakan contoh-contoh yang memberikan inspirasi bagaimana cara menyelesaikan masalah.
Dukungan sosial dari teman, keluarga, dan orang lain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan dan kesejahteraan emosional. Orang-orang yang memiliki teman yang baik, kontak sosial yang luas, dan jejaring dengan anggota masyarakat lain memiliki kesehatan yang lebih baik dan berumur lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya. 

Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa stres merupakan penyebab terjadinya berbagai penyakit psikis dan jasmani, stres berhubungan antara pikiran dan tubuh, keduanya saling mempengaruhi. Stres memang tidak dapat dihindari tetapi yang terpenting adalah bagaimana caranya dalam mengelolanya agar tidak menimbulkan dampak yang serius bagi diri kita.
Seseorang dalam mengatasi stres disebut coping stres,  coping melibatkan usaha aktif untuk mengatasi tuntutan yang membuat stress. Salah satu cara untuk mengatasi stress adalah mengurangi efek fisik, misalnya, melalui relaksasi bertahap, meditasi, pemijatan, dan olahraga. Cara lain adalah dengan memfokuskan untuk menyelesaikan masalah (problem-focused coping) dan tidak melampiaskan diri hanya melampiaskan emosi-emosi yang disebabkan oleh masalah (emotion-focused coping) dan cara ketiga adalah dengan memikirkan kembali, melalui penilaian kembali (reappraisal).
Penelitian modern telah membuktikan pentingnya dukungan sosial,  dukungan sosial dari teman, keluarga, dan orang lain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan dan kesejahteraan emosional. Orang-orang yang memiliki teman yang baik, kontak sosial yang luas, dan jejaring dengan anggota masyarakat lain memiliki kesehatan yang lebih baik dan berumur lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki teman atau dukungan sosial.

Sumber Bacaan:
Jackson, Pamela Braboy & Stewart, Quincy Thomas. 2003. A Research agenda for the black middle class. Academic Research Library, Vol. 44, No. 3, Hal 442 – 455.
Nelsa, Debra L & Sutton, Charlotte. 1990. Chronic Work Strees and Coping: Longitudinal Study and Suggested New Direction.  Academic of Management Journal, Vol. 33, No.  4, Hal 859 – 869.
Jack W, Berry & Everett L, Worthington Jr. 2001. Forgivingness, Relationship Quality, Stress While Imagining Relationship Events, and Physical and mental Health. American Psychological Association Inc, Vol. 48, No. 4, Hal 447 – 455.
Gianakos, Irene. 2002. Predictors of coping with work stress: The influences of sex, gender role, social desirability. Academic Research Library, Vol. 46, No. 5, Hal 149.
Kivimaki, Maki; Leino-Arjas, Paivo; Luukkonen, Ritva; Hilkka Riihimaki; et al. 2002. Work Stress and risk of cardiovascular mortality.Academy Reseacrh Library, Vol 325, Hal 857.
Vasse, R M, Nijhuis, F J N &  Kok, G. 1998. Associations between work  stress, alcohol consumption and sickness absence. Academic Research Library, Vol 93, No 2, Hal 231.
Lowe, Rob & Bennett, Paul. 2003. Exploring coping reactions to work-stress: Aplication of an appraisal Theory. Academic Research Library, Vol 76, Hal 393.
Gianakos, Irene. 2000. Gender roles and coping with work stress. Academic Research Library, Vol. 42, No. 11/12, Hal 1059.
Krantz, Gunilla; Bernstsson; Lunberg, Ulf. 2005. Total Workload, work stress and perceived symptom in Swedish male and female. European Journal of Public Health, Vol. 15, No. 2, Hal 209 – 214
Vettor, Susan M & Konsinski Jr, Frederick A. 2000. Work-Stress burnout in emergency medical technicians and the use of early recollections. Journal of employing counseling, vol. 37, Hal 21.






Berlangganan update artikel terbaru via email:

Belum ada Komentar untuk "Distres dan Kesehatan Mental"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel