Distres dan Kesehatan Mental
Distres dan Kesehatan Mental
Saat ini manusia dituntut untuk survive dengan lingkungan hidupnya,
tuntutan hidup mengharuskan manusia untuk dapat mandiri, dan tentunya tanpa mengabaikan rambu-rambu nilai dan norma yang berlaku, jika tidak seribu penyakit jiwa yang akan mengancamnya. Pada artikel ini saya akan
menguraikan pembahasan yang berakaitan erat antara stress yang tidak menguntungkan, atau lebih dikenal dengan distres dan hubunganannya dengan
kesehatan mental.
Stres dan dampaknya
Menurut
Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat
merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan
beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres)
tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis.
Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap
peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang
dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil
manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana,
1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana
pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.
Stressor (penyebab stres) yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang
positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan
mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan
apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif
tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956).
Penilaian
kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada
masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian
kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk
menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi
yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan
outcome yang lebih baik bagi individu. hasil sebuah penelitian yang di lakukan pada orang afrika yang
berada di amerika banyak yang mengalami stres atau gangguan mental lainnya
berasal dari kalangan masayarakat kelas menengah yang dalam lingkungan
sosialnya menerima diskriminasi dari masyarakat pribumi. Hal ini menandakan
bahwa lingkungan sosial berkontibusi dalam membentuk manusia sehat. Tingginya
sebuah konflik atau pertikaian di dalam sebuah masyarakat akan memunculkan
resiko yang besar pada penyakit-penyakit mental yang berawal dari stres. Untuk
memahami efek stressor dan mempelajari mengapa orang bereaksi secara berbeda
terhadap stressor, peneliti modern melintasi batas-batas professional untuk
mengumpulkan sumber daya dan
pengetahuan mereka. Banyak ahli bekerja di lintas bidang spesialisasi dengan
istilah psikoneuoroimunologi. Istilah “psiko” mengacu pada proses psikologis
seperti emosi dan persepsi, “neuro” terkait system endokrin; dan “imunologi”
mengacu pada system kekebalan yang membuat tubuh mampu melawan penyakit dan
infeksi.
Berdasarkan penelitian lainnya mengenai
bagaimana dampak stress terhadap tubuh, memaparkan di saat kita sedang stress
maka hipotalamus di otak akan mengirimkan pesan ke endokrin ke dalam dua jalur
besar. Jalur pertama mengaktifkan bagian simpatetik pada system syaraf otonom
untuk melakukan respons “lawan dan lari”, hasilny adalah pelepasan epinephrine
dan noreepinephrine dari bagian (medulla) kelejar adnrenal. Hipotalamus juga
memicu aktivitas sepanjang aksis HPA (hypothalamus-pitutuary-adrenal cortex):
hipotalamus melepaskan pesan-pesan kimiawi yang berkomunikasi dengan kelenjar
pitutuari, yang selanjutnya akan mengirim pesan-pesan ke bagian (korteks) dari
kelenjar adrenal. Adrenal korteks mengeluarkan kortisol dan hormone-hormon lain
yang meningkatkan gula darah dan melindungi jaringan tubuh dari peradangan jika
luka.
Salah satu hasil pengaktifan aksis HPA
adalah peningkatan energi, yang penting bagi respon jangka pendek terhadap stress.
Namun jika kortisol dan hormon stres tetap tinggi dalam jangka waktu yang
lama, maka akan membahayakan kesehatan karena berperan dalam memunculkan
tekanan darah tinggi dan berbagai penyakit fisik lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan
stres bahwa di dalam perusahaan yang menerapkan jam kerja yang padat,
tetapi membayar gaji yang rendah kepada karyawannya, maka hal itu dapat
menyebabkan munculnya resiko penyakit vadivoscular
yang berimplikasi pada kematian. Maka, sudah semestinya sebuah perusahaan
memperhatikan segi keamanan dan kenyamanan pada para karyawan agar kinerjanya
akan semakin baik dan optimal.
Coping Stres
Berkenaan dengan coping (mengatasi) stres, sebuah penelitian menemukan tidak ada perbedaan strategi coping stress pada peran gender (baik berperan sebagai perempuan maupun pria) mereka keduanya sama-sama menggunakan coping stress, misalnya berpikir positif dan lain sebagainya. Beberapa stressor kronis meningkatkan resiko penyakit: bunyi-bunyi konstan yang tidak dapat dikendalikan; duka cita dan kehilangan; pengangguran dan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan; dan kemiskinan, status rendah dan ketidak berdayaan. Namun, ada banyak orang yang mengalami stressor ini tidak menjadi sakit. Psikolog kesehatan mempelajari faktor-faktor psikologis, sosial dan biologis yang meramalkan siapa yang menjadi sakit dan siapa yang tetap sehat.
Coping melibatkan usaha aktif untuk
mengatasi tuntutan yang membuat stress. Salah satu cara untuk mengatasi stress
adalah mengurangi efek fisik, misalnya, melalui relaksasi bertahap, meditasi,
pemijatan, dan olahraga. Cara lain adalah dengan memfokuskan untuk
menyelesaikan masalah (problem-focused coping) dan tidak melampiaskan diri
hanya melampiaskan emosi-emosi yang disebabkan oleh masalah (emotion-focused
coping) dan cara ketiga adalah dengan memikirkan kembali, melalui penilaian
kembali (reappraisal). Belajar dan menemukan arti dari pengalaman, dan
perbandingan sosial dengan orang lain yang lebih buruk keadaanya atau yang
dapat menyediakan contoh-contoh yang memberikan inspirasi bagaimana cara
menyelesaikan masalah.
Dukungan sosial dari teman, keluarga,
dan orang lain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan dan kesejahteraan
emosional. Orang-orang yang memiliki teman yang baik, kontak sosial yang luas,
dan jejaring dengan anggota masyarakat lain memiliki kesehatan yang lebih baik
dan berumur lebih panjang dibandingkan dengan mereka yang tidak memilikinya.
Kesimpulan
Dapat
disimpulkan bahwa stres merupakan penyebab terjadinya berbagai penyakit psikis
dan jasmani, stres berhubungan antara pikiran dan tubuh, keduanya saling
mempengaruhi. Stres memang tidak dapat dihindari tetapi yang terpenting adalah
bagaimana caranya dalam mengelolanya agar tidak menimbulkan dampak yang serius
bagi diri kita.
Seseorang dalam
mengatasi stres disebut coping stres,
coping melibatkan usaha aktif untuk mengatasi tuntutan yang membuat
stress. Salah satu cara untuk mengatasi stress adalah mengurangi efek fisik,
misalnya, melalui relaksasi bertahap, meditasi, pemijatan, dan olahraga. Cara
lain adalah dengan memfokuskan untuk menyelesaikan masalah (problem-focused
coping) dan tidak melampiaskan diri hanya melampiaskan emosi-emosi yang
disebabkan oleh masalah (emotion-focused coping) dan cara ketiga adalah dengan
memikirkan kembali, melalui penilaian kembali (reappraisal).
Penelitian modern telah membuktikan
pentingnya dukungan sosial, dukungan
sosial dari teman, keluarga, dan orang lain sangat berperan dalam
mempertahankan kesehatan dan kesejahteraan emosional. Orang-orang yang memiliki
teman yang baik, kontak sosial yang luas, dan jejaring dengan anggota
masyarakat lain memiliki kesehatan yang lebih baik dan berumur lebih panjang
dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki teman atau dukungan sosial.
Sumber Bacaan:
Jackson, Pamela Braboy & Stewart, Quincy
Thomas. 2003. A Research agenda for the black middle class. Academic
Research Library, Vol. 44, No. 3, Hal 442 – 455.
Nelsa, Debra L & Sutton, Charlotte. 1990. Chronic
Work Strees and Coping: Longitudinal Study and Suggested New Direction. Academic of Management Journal, Vol. 33, No. 4, Hal 859 – 869.
Jack W, Berry & Everett L, Worthington Jr.
2001. Forgivingness, Relationship Quality, Stress While Imagining
Relationship Events, and Physical and mental Health. American Psychological
Association Inc, Vol. 48, No. 4, Hal 447 – 455.
Gianakos, Irene. 2002. Predictors of coping with
work stress: The influences of sex, gender role, social desirability.
Academic Research Library, Vol. 46, No. 5, Hal 149.
Kivimaki, Maki; Leino-Arjas, Paivo; Luukkonen,
Ritva; Hilkka Riihimaki; et al. 2002. Work
Stress and risk of cardiovascular mortality.Academy Reseacrh Library, Vol
325, Hal 857.
Vasse, R M, Nijhuis, F J N & Kok, G. 1998. Associations between work
stress, alcohol consumption and sickness absence. Academic Research
Library, Vol 93, No 2, Hal 231.
Lowe, Rob & Bennett, Paul. 2003. Exploring coping reactions to work-stress:
Aplication of an appraisal Theory. Academic Research Library, Vol 76, Hal
393.
Gianakos, Irene. 2000. Gender roles and coping with work stress. Academic Research
Library, Vol. 42, No. 11/12, Hal 1059.
Krantz, Gunilla; Bernstsson; Lunberg, Ulf. 2005. Total Workload, work stress and perceived
symptom in Swedish male and female. European Journal of Public Health, Vol.
15, No. 2, Hal 209 – 214
Vettor, Susan M & Konsinski Jr, Frederick A.
2000. Work-Stress burnout in emergency
medical technicians and the use of early recollections. Journal of
employing counseling, vol. 37, Hal 21.
Belum ada Komentar untuk "Distres dan Kesehatan Mental"
Posting Komentar